GEREJA KATOLIK KRISTUS RAJA

Propeller Ads

Propeller Ads

Monday, May 9, 2016

SEKOLAH DASAR DI ELOK KOLONG (Bagian 3)

SEBUAH PERJUANGAN UNTUK MENGGAPAI CITA-CITA
ANAK-ANAK PEDALAMAN YANG BERPENDIDIKAN
(P. Firminus Andjioe OFMCap)

Masalah sosial di kampung ini, perkawinan di usia muda merupakan hal biasa. Suatu hari ketika mereka tahu bahwa salah seorang di antara kami adalah seorang pastor, maka dihadapkanlah kepada pastor sepasang calon pengantin. Yang wanitanya berusia baru menginjak usia 14 tahun dan yang lelaki berasal dari kampung ini. Kedua orang tua calon pengantin hadir pada saat itu dan merestui akan terjadinya perkawinan. Mereka mengatakan anak-anak mereka sudah saling mencintai, sanak famili yang hadir pada saat itu juga mengiakan. Pastor menanggapi supaya perkawinan ditunda dan menerangkan dan memberikan alasan-alasan penundaan baik dari sudut hukum maupun kesehatan dan akibat sosial lainnya. Walaupun Pastor memberi nasihat penundaan, dalam kenyataan perkawinan pastilah tetap terjadi. Biasanya diselesaikan secara adat.


Tanah yang Diminati Perusahaan

Problem sosial lainnya, tanah mereka sangat diminati oleh pihak perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan. Pihak perkebunan berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan lahan mereka dengan cara mendekati tokoh-tokoh masyarakat dan orang-orang tertentu yang berpengaruh di tempat ini. Akibat pendekatan ini menimbulkan keresahan karena menimbulkan pro dan kontra. Akibat berkali-kali munculnya keresahan. Atas permasalahan ini maka kami diminta segenap warga bermusyawarah untuk menanggapi penawaran pihak perusahaan. Apapun keputusan harus ditaati segenap masyarakat setempat. Dalam musyawarah setiap orang diberi kesempatan bicara. Saat itu seorang pimpinan masyarakat setempat, yang dicurigai tanpa musyawarah mau menjual tanah milik masyarakat tampil berdiri menjelaskan, bahwa ia memang didekati pihak perusahaan, tetapi tidak pernah memberi tanggapan. Seorang Ibu tampil bicara. Ia mengatakan kalau tanah dilepaskan kepada pihak lain, kemana lagi mereka mau berladang. Seorang ibu lain mengatakan, air sungai nanti menjadi keruh dan beracun. Ke mana mau cari air minum dan sulit menangkap ikan. Seorang bapak yang tua mengatakan, anak cucu nanti tidak ada tanah untuk tinggal. Seorang ibu yang lain mengatakan nanti sulit cari sayur di hutan dan kayu api untuk masak. Nampaknya alasan-alasan sangat sederhana, tetapi menyangkut kehidupan pokok sehari- hari. Hasil musyawarah akhirnya menyepakati, tanah tetap dipertahankan. Pengelolaan tanam tumbuh berupa kayu-kayu, bila mau menebangnya juga harus dimusyawarahkan. Kesepakatan ini mereka tuangkan dalam surat pernyataan yang ditandatangani segenap unsur pimpinan yang ada di kampung tersebut.

Pernah sekali waktu kami berbincang dengan keempat guru yang mengajar. Di kedalaman hati mereka ingin sebenarnya kuliah mengambil jurusan pendidikan di Universitas Terbuka. Senin sampai dengan Sabtu pagi tetap mengajar. Sabtu Sore sampai Minggu sore ikut kuliah. Mereka ingin melanjutkan belajar, karena mereka menyadari, pendidikan yang mereka peroleh akan menambah kemampuan mereka dalam mengajar anak-anak didik mereka. Dan ada rasa khawatir juga, bahwa suatu saat bila mereka tidak menyesuaikan diri dengan persyaratan sebagai seorang guru, pastilah akan tersingkir. Padahal kata mereka sudah sangat merasa betah mengabdi mengajar. Mereka akui juga khususnya ketiga guru muda ketika diminta mengajar di kampung ini, pada mulanya berjuang untuk betah, melawan kesepian kampung tanpa listrik, tanpa TV, tanpa hiburan apapun. Hobi bermain futsal harus ditinggalkan perlahan-lahan dan diganti dengan hobi memancing, memukat ikan dan bermaraton dari ujung kampung menuju lokasi tertentu. Atau juga masuk menjelajahi hutan ke hutan. Tentang mau kuliah, persoalan yang mereka hadapi adalah dananya dari mana, sedangkan mereka mengajar di situ tanpa gaji. Salah satu di antara guru menerawang lalu berdiri dan matanya menatap kosong ke depan.


Pertanyaan Menggugah Hati

Lalu muncul di benak kami yang adalah pencetus gagasan peduli pendidikan di kampung ini dan mengutus ketiga pemuda menjadi guru di tempat ini, “Apakah benar motivasi peduli pendidikan ini sampai mengorbankan ketiga pemuda ini dan menjadikan mereka guru di tempat yang jauh dari keramaian dan berteman dengan kesunyian?” Ataukah, “Kegiatan ini terwujud semata-mata hanya suatu program pribadi saja?” Memang kami sebagai pencetus datang sekali-kali datang menjenguk dan mendengar kisah mereka dan meneguhkan mereka lagi dan lagi sambil membawa buah tangan dan memberi uang saku sekedarnya dari uluran tangan beberapa orang yang bersimpati, sekedar untuk membeli keperluan hidup sehari-hari seadanya.

Dalam kunjungan terakhir baru-baru ini dan tiga hari bermalam di rumah guru, keesokan pagi sebelum meninggalkan kampung ini, kami menyempatkan diri menyalami murid-murid dan keempat guru. Murid-murid berebutan menyalami sambil mencium tangan kami. Murid-murid melambaikan tangan. Dua tiga murid yang masih kecil-kecil yang berpakaian seadanya, corak warna baju yang sudah kusam dan ada juga yang terlepas kancingnya memberi pesan pada kami, “Hati-hati di jalan, ya.” Ibu Norhayati, terutama tiga guru muda, yakni: Albertus Alang, Stepanus Agung dan Dominikus Udut memandang kepergian kami dengan rasa haru. Kami memandang keempatnya dengan rasa iba dan berjanji dalam hati, bahwa kami tetap mendampingi mereka dalam mewujudkan cita-cita pengabdian mereka. Semoga Tuhan memberkati niat ini.

Sesudah sekian lama sejak kunjungan kami terakhir, bagaimanakah perkembangan perjuangan pendidikan SD di Elok Kolong? Silahkan klik di sini untuk mengikuti cerita selanjutnya.

*******

0 komentar:

Post a Comment