GEREJA KATOLIK KRISTUS RAJA

Propeller Ads

Propeller Ads

Monday, May 9, 2016

SEKOLAH DASAR DI ELOK KOLONG (Bagian 1)

SEBUAH PERJUANGAN UNTUK MENGGAPAI CITA-CITA
ANAK-ANAK PEDALAMAN YANG BERPENDIDIKAN
(P. Firminus Andjioe OFMCap)

Ketika di kota anak-anak bersekolah dengan nyaman, dengan gedung sekolah yang bagus dan guru digaji dengan memadai, namun di Elok Kolong, nama kampung di wilayah Desa Tebuah Elok, Kecamatan Subah, Kabupaten Sambas, ada SD yang bangunannya masih beratapkan daun rumbia, banyak anak yang bersekolah masih nyeker dan gurunya dibayar dengan beras.

Bagaimana ini bisa terjadi? Karena Sekolah didirikan oleh masyarakat, bukan oleh pemerintah. Mereka mendirikan bangunan SD itu, karena gedung sekolah negeri di Elok Asam terlalu jauh. Ada  yang berjarak 4 Km, 6 Km dan yang paling jauh 8 Km dari kampung mereka masing-masing. Sekarang masyarakat sedang berjuang agar SD mereka dapat dinegrikan, sekolah dibangun dengan layak dan gurunya mendapatkan Gaji yang memadai.

Bagaimanakah perjuangan mereka dalam menggapai cita-cita mulia ini? Mari kita simak kisahnya. 

*******



Di SD Elok Kolong ada lima guru yang mengajar. Mereka ini adalah Albertus Alang, Stepanus Agung, Dominikus Udut, Ringgo dan Noerhayati. Namun seiring berjalannya, Ringgo akhirnya mengundurkan diri. Ia hanya mampu mengajar selama tiga bulan. Pengunduran dirinya dapat dimengerti karena bagaimana mungkin ia dapat bertahan hidup kalau hanya dibayar dengan beras saja, sedangkan ia kadang pergi mengajar memakai motor orang tuanya. Dari mana ia mendapat uang bensin untuk sepeda motornya? Sejauh diketahui, sesudah pulang mengajar, ia menyempatkan diri membuka kebun lada. Namun dari praktek yang dijalaninya, merawat lada sepulang dari mengajar tidak mencukupi waktunya. Inilah satu alasan ia mengundurkan diri.

Alasan Bertahan

Keempat guru lainnya masih bertahan, karena melihat murid-murid yang ada sudah ada kemajuan dalam hal membaca, menulis dan berhitung. Agung mengatakan, “Saya ada di sini. Saya mau membaharui masyarakat, terutama mendidik anak-anak yang ingin sekolah, tetapi tidak ada yang mau memperhatikan mereka. Inilah yang membuat saya betah mengajar di tempat ini. Anak- anak sangatlah perlu mendapatkan pendidikan apalagi di jaman yang modern ini. Saya tidak mau masih ada masyarakat yang jauh tertinggal di dunia pendidikan. Setidak-tidaknya mereka pandai membaca dan menulis, sehingga tidak ada yang buta huruf ketika mereka keluar ke dunia yang akan datang, yakni dunia maju. Saya melihat juga masyarakat di kampung ini mendukung dan sangat memperhatikan serta menghargai kehadiran kami sebagai guru pembantu. Anak-anak sangat bersemangat mau belajar. Mereka yang dulu tidak bisa membaca dan menulis, berkat kehadiran kami ternyata sudah bisa membaca dan menulis. Yang paling membuat saya betah adalah melihat semangat anak-anak di Elok Kolong ini yang mau belajar. Saya pikir janganlah saya mematikan semangat belajar mereka ini. Saya berusaha membantu mereka sejauh kemampuan saya.

Memang dulu ketika pertama kali kami datang ke sekolah ini, anak-anak belum tahu membaca satu tulisan yang ditunjuk oleh kami. Ketika kami datang kembali ke sekolah ini, rata-rata anak-anak sudah dapat mengeja huruf-huruf dalam kalimat. Satu murid bernama Yudi, sudah sangat lancar membaca. Yang satunya lagi bernama Yulianus sangat berbakat di bidang Matematika. Kepada anak ini kami bertanya: 2+2 berapa? Ia menjawab 4. 4+4 berapa? Ia menjawab 8. 8+8 berapa? Ia menjawab 16. 16+16 berapa? Ia menjawab 32. 32+32 berapa? Ia menjawab 64. 64+64 berapa? Ia menjawab 128.128+128 berapa? Anak ini terdiam sejenak lalu hanya tertawa.


Paket C dan Rumah Guru

Ibu Noerhayati walaupun tamatan Paket C dan tidak mengenal ilmu cara mengajar, ternyata ia mengajar dengan baik. Ia mengajar murid-murid kelas 1 dengan cara yang sangat mudah dipahami oleh anak didiknya. Ia tidak bosan-bosannya mengulang-ulang melatih murid-muridnya menulis abjad di papan tulis. Kadang-kadang ia mendatangi muridnya satu persatu di bangku sambil memegang tangan murid untuk mengajarinya menulis abjad di buku tulis masing-masing. Begitu juga dalam mengenalkan angka-angka ia dengan sabar memperkenalkan angka nol sampai sepuluh. Sepulang mengajar ibu Noerhayati pergi ke ladang. Seperti ibu-ibu sekampungnya, ia juga tanpa segan-segan menggambin, menaruh tali keranjang di kepalanya untuk pergi ke ladang. Sekali waktu pada waktu sore hari kami melihat sepulang dari ladang, ia memberi buah timun kepada tiga guru lainnya.

Ketiga Guru, yakni Alang, Agung dan Udut tinggal di satu rumah, yang oleh masyarakat setempat disebut rumah guru. Padahal rumah itu hanyalah sebuah rumah kecil yang berukuran 4x6, terdiri dari ruang tamu, kamar tidur, dapur dan wese yang semuanya berukuran serba kecil, hasil gotong-royong masyarakat setempat. Rumah ini terbuat dari dinding papan dan atap seng, tetapi sebagian beratap daun untuk mencukupi atap seng yang kurang. Pada mulanya rumah ini tidak berwese. Ketika pertemuan pertama bersama masyarakat, disyaratkan rumah ini harus ada wesenya, supaya para guru tidak berwese di seluas alam yang ada. Dikatakan pada mereka tidaklah mungkin seorang guru, ketika sedang berwese terlihat oleh anak muridnya, bisa-bisa kewibawaan sang guru akan terpengaruh. Di kalangan masyarakat sendiri, mereka hampir semua berwese di seluas alam yang ada. Rata-rata rumah tidak mempunyai wese. Hal ini mungkin karena mereka  pagi-pagi sudah berangkat ke ladang. Sore baru pulang ke rumah. Kalau ladang atau tempat pendulangan cukup jauh, maka biasanya mereka tidak pulang. Kadang sampai seminggu. Kama itu wese mereka rasakan tidak terlampau penting. Toh mereka juga kalau mau ke wese dengan mudah pergi ke sungai yang mengitari kampung.(Untuk membaca bagian 2 dari tulisan SD di Elok Kolong ini, klik di sini)

0 komentar:

Post a Comment