GEREJA KATOLIK KRISTUS RAJA

Propeller Ads

Propeller Ads

Monday, May 9, 2016

SEKOLAH DASAR DI ELOK KOLONG (Bagian 2)

SEBUAH PERJUANGAN UNTUK MENGGAPAI CITA-CITA
ANAK-ANAK PEDALAMAN YANG BERPENDIDIKAN
(P. Firminus Andjioe OFMCap)

Sekali waktu Paun, lelaki paruh baya bercerita kepada kami, “Kalau mandi di sungai yang berbatu besar itu badan jadi berpanau,” katanya sambil menunjuk batu besar yang ada di tepi sungai itu. Saya tertawa, bagaimana badannya tidak berpanau kalau sesudah mandi di sungai itu ia mengeringkan badannya dengan handuk yang selalu dililitkan atau diikatkan di pinggangnya. Bahkan handuknya pernah berfungsi sebagai pembungkus seekor ikan hasil pukatnya yang diberikan kepada ketiga guru. Umumnya juga, habis makan handuk juga dipakai untuk mengelap tangan. Terlihat juga oleh kami beberapa orang menderita penyakit flu. Handuknya untuk menyeka ingusnya yang keluar. Jadi masalah kesehatan ternyata kadang masih dijelaskan lewat mitos.


Berusaha Menarik Perhatian

Pada suatu pagi, ketika ketiga guru baru bangun tidur jam menunjukkan jam setengah enam lewat. Tiba-tiba terdengar suara motor meraung-raung, lalu motor dimatikan. Rupa-rupanya seorang laki-laki paru baya. Ia lalu naik ke rumah, memperkenalkan dirinya dan dibuatkan kopi. Kemudian beberapa orang keluar dari rumahnya masing-masing menemui laki-laki paru baya itu. Rupanya ia menuntut pembayaran papan yang digesek. Kemudian ia menulis di dinding depan rumah guru tulisan sebagai berikut, “Hargailah Orang Kecil. Saya Minta Uang Gesek Papan. Terima-kasih”. Sebab menurutnya tempo hari dialah yang meng-gesek papan rumah guru tersebut. Dulunya ia adalah penduduk setempat, tetapi sekarang sudah berpindah ke daerah lain. Sesudah kejadian itu, ketiga guru menjadi serba tidak nyaman untuk tinggal di rumah itu. Hari itu proses pengajaran berhenti. Sesudah di usut dengan baik, ternyata inti persoalan adalah lelaki paru baya tadi marah, karena tanahnya di tanami sawit oleh salah satu keluarganya yang adalah pimpinan kampung tersebut. Situasi ini ia tidak terima, tetapi ia tidak berdaya menyelesaikannya. Supaya terselesaikan ia berusaha menarik perhatian. Sesudah duduk perkaranya diketahui, tanaman sawit dicabut persoalan dianggap selesai dan esok harinya proses pengajaran berjalan kembali.

Adalah seorang anak laki-laki duduk di kelas dua, sebut saja namanya Joni sering kedapatan membolos. Ketika ditanya mengapa membolos, rupanya ia disuruh oleh orang tuanya untuk mengasuh adik-adiknya. Ia kadang membolos sampai seminggu. Ia satu-satunya anak yang bersekolah dari kampung yang berjarak sekitar delapan kilo dari rumah sekolah. Anak ini harus melalui jalan setapak yang kiri-kanannya adalah hutan. Begitulah sebelum kami menghidupkan lagi sekolah di Elok Kolong, anak ini harus bersekolah di sekolah induk di pusat desa yang berjarak empat km dari Elok Kolong. Jadi dulu ia harus menempuh sekitar dua-belas km setiap hari untuk bersekolah.

Ada satu anak lagi, masalahnya lain. Ketika kami pada suatu hari mengamati para murid yang belajar, ia berdiri di depan pintu kelas dua. Sekolah ini memang baru mempunyai dua ruang kelas yang serba seadanya. Kemudian saya bertanya kepadanya, “Mengapa tidak sekolah?” Ia menjawab, “Saya kelas tiga”. Ditanya lagi, “Mengapa berhenti sekolah?” Ia menjawab, “Saya dibilang bodoh oleh seorang guru.” Ia mengatakan, “Kalian yang bodoh berhenti saja sekolah.” Karena malu dengan teman-temannya dibilang bodoh inilah maka ia berhenti sekolah. Ketika ia ditanya lagi, “Masih maukah engkau sekolah, karena dengan bersekolah engkau bisa jadi dokter, guru, atau kepala desa?” Ia menjawab mau. Lalu kami katakan, “Tahun depan engkau sekolah lagi di sini.” Memang tahun depan di sekolah ini sudah ada kelasnya. 


Motor Hasil Sumbangan

Salah satu dari tiga guru mempunyai motor, hasil sumbangan orang yang bersimpati kepada kami. Kendaraan ini dipakai oleh ketiga guru ke pusat kecamatan untuk mengantar laporan ke pihak UPT Pendidikan. Motor itu juga dipakai untuk mengikuti penataran guru. Kalau demikian pemeliharaan kendaraan dan bensin pasti diperlukan. Karena itu ketiga guru ini pernah ikut mendulang. Oleh tokoh masyarakat setempat yang adalah mantan kepala desa, mereka dinasihati supaya tidak mendulang karena berbahaya. Ditakutkan tertimpa tanah longsor. Sebagai gantinya sepulang mengajar para guru ini mengojek hasil ladang masyarakat setempat berupa cabe, timun untuk dijual ke tempat penampungan yang jaraknya cukup jauh. Sekali waktu seorang ibu minta dijualkan cabenya ke pasar Sambas. Hasil jualan Rp 300 ribu. Ibu itu memberi Rp 100 ribu sebagai imbalannya.       

Administrasi sekolah berupa laporan bulanan guru mengajar dan laporan jumlah murid perbulan ternyata beres. Dan itu selalu diantar ke UPT. Kepala UPT Pendidikan Subah, menurut keempat guru sangat simpatik. Ia memberi dorongan kepada keempat guru-guru muda ini untuk tetap bertahan mengajar. Pesan ini meneguhkan mereka. Dana BOS mulai dialirkan ke sekolah ini berkat kejelian kebijakan UPT. Penggunaan dana BOS pertanggunggjawabannya ternyata tercatat dengan baik berapa yang masuk dan untuk apa.

Di sekolah ini, kedekatan murid dan guru sangat familiar dan masih alamiah. Ketika kami bersama satu guru melewati sungai yang ada di kampung sebelah, tiba-tiba di seberang sungai terdengar teriakan, “Pak guru! Pak guru!” kata anak-anak sambil melambaikan tangan. Nampak anak-anak itu sedang memancing ikan.

Kehadiran guru di tengah-tengah mereka ada kesan kuat selalu dirindukan anak-anak. Sehabis pembagian rapor sekolah libur. Ketiga guru muda pulang ke kampung halaman.

Ketika hari pertama masuk sekolah lagi dan para murid melihat guru-guru ini, mereka berebutan menyalami sambil mencium tangan. Bahkan ada yang mengelus tangan sang guru sambil tertawa-riang. Lalu bersamaan memasuki halaman sekolah. (Untuk bagian 3 dari tulisan SD di Elok Kolong klik di sini).

0 komentar:

Post a Comment